Ketika manusia menjadi begitu apatis, ketika manusia terlalu sering menggunakan kaca yang berupa cermin, dan jarang menggunakan kaca jendela, manusia hanya akan melihat dirinya sendiri. Tapi bagaimana caranya melihat kaca jendela, kaca jendela itu entah dimana, aku melihat sekeliling tapi semua adalah kaca cermin. Bagaimana kita akan peduli terhadap keadaan orang lain.
Hidup ini rumit, selalu ada masalah, tapi kita harus tetap menjadi subjek, kita harus tetap berperan sebagai penentu kehidupan ini. Terkadang, hidup ini terasa begitu sibuk dengan urusan kita sendiri, sehingga kita seperti tidak punya waktu untuk memikirkan, apalagi mengurusi orang lain. Mengurusi orang lain seperti tidak ada gunanya bagi diri kita sendiri, rasanya kita akan rugi, membuat banyak hal yang kita punyai terbuang, waktu, uang, tenaga, pikiran, lalu apa yang didapat, seperti tidak ada apapun yang didapat.
Ketika banyak orang mengatakan dunia ini kejam, dan banyak orang berlatih untuk menjadi kuat agar bisa menghadapi dunia, akhirnya dunia ini terasa tidak nyaman, terasa berat karena kita harus menghadapinya. Aku seperti tidak sanggup untuk menghadapi dunia ini, aku memilih berdamai dengan dunia, berdamai dengan apa yang bernama hidup, belajar untuk tenang menghadapinya. Ketika aku belajar untuk peduli dengan orang lainpun, sekarang aku memilih untuk memedulikan mereka dalam damai.
Dulu aku berusaha memedulikan orang lain, aku begitu ingin orang lain menjadi lebih baik (menurutku), aku selalu berusaha, aku mengusahakan apapun hingga aku merasa teramat lelah. Setelah rasa lelah yang selalu aku tahan itu, belum tentu orang lain akan menjadi seperti apa yang aku usahakan, lalu aku akan kecewa, rasa lelah itu menjadi seperti tak ada artinya.
Sampai pada titik sebuah rasa lelah yang telah bertumpuk, aku kembali mempertanyakan sebenarnya untuk apa semua hal yang telah aku lakukan, untuk apa semua hal yang telah aku korbankan. Aku mencoba bertanya, tentang untuk apa semua ini, hingga jawaban "semua hanya untuk Allah" pun tak bisa menjawab pertanyaanku, semua itu terasa amat abstrak tapi rasa lelah dan kecewaku begitu nyata aku rasakan.
Aku pernah sampai pada sebuah keadaan dimana aku begitu lelah, melihat banyak pekerjaanku terasa amat sia-sia, logikaku berkata agar aku berhenti dari semua ini, ia terus memberi banyak penjelasan mengapa aku harus berhenti, aku mengiyakan logikaku, aku ingin berhenti. Dalam hatiku, aku ingin berhenti, menyudahi semua perjuangan yang tak ada hasilnya.
Sebenarnya aku masih ingin berjuang, tapi aku sudah tak tahu lagi apa yang masih bisa menggerakkanku, aku kehabisan alasan untuk berjuang. Aku terus menunggu datangnya energi baru, menunggu datangnya sebuah alasan untuk terus berjuang, tapi hal yang kutunggu tak kunjung datang, lalu aku mencoba mencari, aku menanyakan ke banyak orang, tapi mereka hanya mengejekku karena aku lelah berjuang, huh sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Akhirnya aku berhenti bertanya, aku kembali terdiam.
Waktu selalu menyesakkan bagiku kala itu, aku hanya punya rasa marah, kesal. Aku terjebak, aku ingin berhenti tapi aku terlalu sombong untuk menerima kritikan dan ejekan dari orang lain, aku sungguh pusing, kepalaku berdenyut. Aku tak punya rencana lagi untuk memperbaiki diriku, aku pasrah, walaupun banyak kemungkinan yang aku pikirkan, tapi tak ada yang benar-benar aku usahakan, aku lebih banyak menunggu keajaiban dengan perasaan tak yakin.
Aku menunggu Allah menunjukkan jalan bagiku, dan pada waktu yang sudah direncanakanNYA, aku diberi pelajaran untuk menuliskan pemikiran maupun apa yang aku rasakan dengan mengetik. Awalnya memang agak susah, tapi aku tetap mencoba, dan aku rasa hal tersebut tidak terlalu buruk, cukup membantu. Sedikit-demi sedikit aku mencoba mengurai benang ruwet dalam pikiranku, dan sedikit-demi sedikitpun beban pikiranku berkurang.
Ketika satu persatu benang pikiranku terurai, aku mulai bisa memindahkan kaca cermin yang menutupi kaca jendela, aku mulai bisa melihat dunia di luar jendela, melihat orang lain. Ternyata kita perlu memindahkan kaca cermin yang menutupi kaca jendela, namun seringkali kita tidak tahu bahwa ada kaca jendela di balik kaca cermin, sehingga kita perlu memindahkan kaca cermin tersebut.
Kadangkala ketika kita tahu di belakang kaca cermin ada kaca jendela, kita tetap bingung bagaimana cara memindahkan kaca cermin, apakah harus digeser, didorong, atau bahkan diangkat. Begitu pula pikiran kita, kita harus membuka kaca jendela dalam pikiran kita, kita perlu mengurai masalah, atau hal yang kita pikirkan, agar kita tidak terpaku dengan pikiran kita sendiri yang ruwet, sehingga kita bisa lebih peduli kepada orang lain.
Cara orang memang berbeda, ada yang dia harus bercerita ke orang lain, ada yang harus dengan menuliskannya di atas kertas, mengetiknya di laptop, ada juga yang dituangkan dalam puisi, lukisan ataupun karya lainnya. Mungkin mencari cara yang sesuai untuk kita terkadang tidak mudah, kadang membutuhkan waktu, tapi kita harus tetap mencoba dan meminta Allah untuk menunjukkannya.
Membuka pikiran kita, mengurai ruwetnya benang pikiran kita selalu perlu dilakukan, agar pikiran kita jernih, sehingga dengan sendirinya kita akan melihat melalui kaca jendela, kita akan dapat melihat orang lain. Saat pikiran kita telah terbuka, kita akan melihat dan merasakan bahwa melihat orang lain itu menyenangkan, berempati itu indah. Ketika sampai pada waktu itu, kita akan lebih bisa melihat orang lain, memahami orang lain, kita tidak akan gampang lelah dan kecewa ketika pejuangan yang terasa melelahkan ini tidak menjadikan mereka seperti apa yang kita inginkan. Perjuangan terasa lebih indah, beban lebih dapat dipikul karena beban lelah dan kecewa telah juga berkurang. Ruwetnya pikiran ini harus segera diurai, dan perjuangan harus segera digelorakan kembali.
Allahu Akbar !!!
created by Ketua Umum KAMMI Komisariat Ahmad Dahlan Purwokerto, Giarsiana Handoyowati.
#Yang siap menuliskan kebenaran...
BalasHapus#klise
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus